Ngopinspirasi bersama Danni Irawan : Palestina, Mahalnya Arti Merdeka

Danni Irawan dan Anak Yatim di Palestina

Jakarta PS. Selama lima tahun secara periodik Danni Irawan bolak-balik ke Palestina membawa bantuan dana kemanusiaan melalui Tim Peduli Palestina, “Aqsa Discovery”. Dalam tulisan sebelumnya (Baca: Mencari Siapa Peduli Palestina?) Danni yang mantan karyawan BUMN energi ini bersama kawan-kawannya secara aktif bergerak mengumpulkan donasi dari sejumlah pihak dan instansi di tanah air untuk rakyat Palestina.

“Saya bisa merasakan betapa putus asanya rakyat Palestina yang hidup tanpa kemerdekaan. Semua aktivitas dan akses mereka dibatasi oleh Israel,” ujar Danni Irawan dalam suatu kesempatan di Jakarta (21/3/2019).

Selama di Palestina Danni melihat rakyat Palestina tidak merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Akses dan mobiltas sebagian warganya serba terbatas, termasuk untuk beribadah sekalipun di masjid Al Aqsa. Betapa putus asanya hidup mereka tanpa kemerdekaan. Ia bisa berempati merasakan pedihnya Proklamasi tanpa pengakuan negara lain seperti nasib Palestina.

Baca Juga : Siapa Peduli Palestina? 

Sebaliknya dengan para pendatang. Keamanan mereka di tanah Palestina tak perlu dikuatirkan. “Bahkan seperti orang Indonesia disambut baik di Palestina. Tentara Israel yang patroli juga sungkan dengan wisatawan. Palestina tidak terlalu menyeramkan seperti yang digambarkan,” cerita Danni yang pada akhir Maret 2019 berencana ke Palestina membawa bantuan dana kemanusiaan.

Konflik bersenjata berlangsung secara terbuka kerap terjadi dan suasana mencekam dibawah kontak senjata itu tak pernah jelas ujungnya. Selain perang, aksi kekerasan juga terus terjadi. Gerakan teror seperti Irgun, yang melancarkan aksi sistematis pengusiran dan perampasan tanah dan rumah penduduk lokal.

Satu di antara kisah pilu yang terkenal terjadi di Deir Yassin. Pada masa silam, tentara dan milisi zionis mengepung kampung yang dihuni ratusan orang itu. Semua penduduk dikumpulkan. Lelaki wanita. tua muda. 250 orang dibantai tanpa ampun. Pemerkosaan massal terjadi. Puluhan rumah luluh lantak rata dengan tanah.

Sisa-sisa kekejaman ini pernah disaksikan langsung oleh dokter Palang Merah Internasional yang tiba sehari setelahnya. Ini jelas genosida. Taktik teror ini terbukti berhasil mengusir 725 ribu warga Arab Palestina dari tanah mereka sendiri. Anehnya pihak yang terusirlah justru dicap sebagai teroris.Namun tak ada negara besar yang peduli.

Perang memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina dari agresi dan pendudukan Israel yang terus berkecamuk membuat Danni mengingat cerita sejarah dari para orang tua di kampung halamannya, Sulawesi Selatan.

Pada masa silam di era perang perjuangan kemerdekaan RI dari penjajah Belanda, adalah kisah Westerling. Serdadu Belanda yang bertanggung jawab terhadap gugurnya puluhan ribu nyawa tak berdosa di Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Untuk memadamkan pemberontakan dan serangan terhadap kependudukan Belanda, perwira berpangkat Kapten ini menggunakan taktik yang sangat brutal.

Dimana Westerling memimpin operasi langsung ke kampung- kampung yang dicurigai telah memberi bantuan bagi pejuang kemerdekaan saat itu. Saat mereka enggan menyerah, pasukan Belanda akan menggiring seluruh penduduk tak peduli lelaki atau wanita, tua atau muda. Seluruhnya dieksekusi. Kampung dihancurkan. Ini semacam psywar dan mengrim pesan peringatan agar kampung lain berpikir dua kali untuk memberi bantuan kepada para pejuang.

Dalam hitungan bulan saja, Raymond Westerling memimpin langsung “pembantaian” 4000 orang. Cara ini efektif. Pejuang terdesak dan memilih bersembunyi di pegunungan. Dan Westerling tidak merasa bersalah. Dalam sebuah buku memoarnya dia menjustifikasi tindakannya sebagai aksi polisionil. Indonesia harus dibersihkan dari aksi teroris yang mengganggu. Eksekusi publik adalah sarana yang tepat bagi para kriminal. Para pejuang dicap sama dengan teroris. Itulah stereotip yang terjadi di Palestina. (RM)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *