Mahasiswa Toraja Geruduk MA,Protes Penguasaan Tanah Adat

PS-Jakarta. Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Toraja seluruh Indonesia bersama warga asal Toraja di Jabodetabek menggelar aksi unjuk rasa di kantor Mahkamah Agung (MA) Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta pusat, Selasa (28/7/2020).

Mereka protes atas putusan MA yang berimplikasi akan dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan SMA Negeri 2 Rantepao, Toraja Utara oleh pihak dari luar masyarakat adat Toraja.

Para mahasiswa tersebut menggelar atraksi ma’badong sebuah tari yang biasanya dilakukan saat kematian. Tari ma’badong tersebut merupakan simbol duka atas matinya keadilan dan hukum di lembaga MA sebagai benteng terakhir keadilan di Indonesia.

Berdasarkan rilis yg diterima,redaksi “Parlemen Senayan”, para mahasiswa Toraja yang berasal dari berbagai daerah tersebut Tino Heidel Ampulembang (Samarinda), Arfa Tangdilian (Toraja), Rahman Sampe Bangun (Kendari), Kevin Candra Kristian Bimbin, Didi Kurniawan, dan Muhammad Yogi Saputra (Yogyakarta), Lois Banne Noling dan Risman Marten Parinding (Manado),  Kevin William Datu Kelali (Papua), dan sejumlah mahasiswa asal Toraja di Jabodetabek.

Dalam aksi itu, hadir juga Kepala SMA Negeri 2 Rantepao, Drs Yuliaus Lamma Bangke dan Ketua Ikatan Alumni SMA Negeri 2 Rantepao Wilayah Jabodetabek Imanuel Kala. Selain itu,sesepuh masyarakat Toraja Samuel Parantean Penasihat Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI), Pither Singkali Ketua Bidang Hukum PMTI dan juga Ketua Gertak sekaligus pengacara Pemda Toraja Utara.

Para mahasiswa Toraja tersebut secara bergantian menyampaikan orasi di depan halaman MA sehingga menarik perhatian masyarakat yang melintasi Jl Medan Merdeka Utara itu. Mereka menyampaikan pernyataan sikap atas kasus tanah SMA Negeri 2 tersebut, yakni meminta dengan tegas MA mengabulkan Peninjauan Kembali dengan mengembalikan tanah adat tersebut kepada masyarakat yang selanjutnya terus dimanfaatkan sebagai fasilitas pelayanan publik termasuk SMA Negeri 2 Rantepao, Puskesmas, dan Telkomsel.

Mereka juga menuntut Kepolisian Republik Indonesia segera mengusut tuntas Laporan Polisi LBP/203/X/2018/SPKT terkait Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP) terkait perkara tersebut. Sebab, diduga keras sejumlah pihak telah memalsukan dokumen dan juga ada saksi yang memberikan keterangan palsu.

Mahasiswa Toraja juga meminta dengan tegas Komisi Yudisial untuk segera menyelidiki perkara Sengketa Lapangan Gembira dan memeriksa para hakim yang terlibat dalam mengadili Perkara Sengketa Lapangan Gembira mulai dari tingkat pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi hingga hakim agung di MA.

Mereka juga mendesak Komisi III DPR untuk segera memanggil pihak terkait dalam kasus tanah adat tersebut, karena diduga keras terjadi praktik peradilan sesat.

Menurut Ignatius Tandi Rano, Koordinator Steering Committee Mahasiswa Toraja Indonesia, mereka mendatangi gedung MA menuntut keadilan bagi warga masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara terkait kasus perampasan tanah adat oleh penggugat Mohamad Irfan CS yang tak lain adalah keluarga salah satu mantan pejabat tinggi di MA.

Dijelaskan, aksi tersebut berkaitan dengan sengketa lahan adat “Rante Menduruk” di Kabupaten Toraja Utara yang kini masuk dalam tahap Peninjauan Kembali (PK). Lahan seluas 3000 m2 tersebut awalnya adalah milik masyarakat adat yang dihibahkan kepada pemerintah untuk penyediaan fasilitas layanan publik seperti sekolah, gedung olahraga, puskesmas, dan sejumlah kantor milik pemerintah.

Dalam perkembangannya lahan tersebut kemudian diklaim dan digugat oleh pihak lain (Mohamad Irfan CS) dari luar masyarakat hukum adat Toraja dengan menempatkan pemerintah sebagai tergugat. Pemda Toraja Utara bersama masyarakat adat bersama pemerintah telah 3 kali “kalah” dalam proses persidangan mulai dari tingkat pengadilan negeri di Makale, Tana Toraja, Pengadilan Tinggi di Makassar, dan pada tingkat kasasi di MA melalui Putusan Kasasi No.718 K/Pdt/2019 tanggal 12 Juni 2019.

Saat ini upaya yang ditempuh untuk mendapatkan keadilan adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir.

Masyarakat adat sendiri tidak pernah merasa menjual lahan tersebut kepada pihak manapun. Karena itu, elemen masyarakat Toraja terutama mahasiswa menduga keras ada sejumlah keganjilan atau praktek peradilan sesat dalam putusan tersebut, terutama dalam konteks penerapan hukum sehingga perlu mengawalnya dalam bentuk advokasi non litigasi.

Mereka menduga keras, oknum pejabat tinggi MA telah menyalahgunakan jabatannya dan memengaruhi proses di semua tingkat hingga di tingkat kasasi, sehingga selalu memenangkan pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah adat, padahal dari luar pemangku adat Toraja yang diwakili Muhammad Irfan dan kawan-kawan.

Jika MA tetap menguatkan putusan kasasi dan menolak upaya PK dari Pemda Toraja Utara, maka lahan SMA Negeri 2 dan sejumlah kantor pemerintah di kawasan Lapangan Gembira tersebut, akan disita oleh Muhammad Irfan dan kawan-kawan.

“Kami tidak rela sejengkal pun tanah adat di Lapangan Gembira, Rantepao diambil paksa oleh pihak yang sama sekali bukan bagian dari pemangku adat Toraja. Ini adalah penjajahan bentuk baru masyarakat Toraja oleh warga Indonesia sendiri yang dilegalkan MA,” teriak Ignatius dan Arfa Tandilian.

Para mahasiswa Toraja juga meminta Ketua MA Dr. H. M. Syarifuddin, SH., MH yang sebelumnya adalah Ketua Majelis Hakim kasasi kasus tanah SMA Negeri 2 Rantepao ini, agar memerintahkan siapa pun hakim yang menyidangkan PK tersebut untuk mengambil keputusan seadil-adilnya untuk masyarakat adat Toraja. Segala hal yang berkaitan dengan keterangan saksi, alat bukti agar benar-benar ditinjau kembali.

Kasus ini tengah dalam proses hukum terakhir, yakni PK yang diajukan oleh Pemda Toraja Utara melalui kuasa hukumnya dari tim hukum Pemda, Kejaksaan Negeri Makale, dan tim kuasa hukum Topadatindo di Jakarta antara lain Pither Singkali, Daniel Tonapa Masiku, Vincent Ranteallo, Marthinus Monod, Haerudin Pagajang, dan Sattu Pali.

Sebelumnya, Pither Singkali, proses persidangan kasus tanah SMA Negeri 2 Rantepao ini sarat dengan praktik peradilan sesat mulai dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA. Dia menduga keras, para saksi yang didengar keterangannya di persidangan telah memberikan keterangan palsu, demikian pula alat bukti yang semuanya hanya foto kopi adalah palsu belaka.

Pither juga menduga keras, peran oknum pejabat tinggi di MA yang tak lain keluarga penggugat, telah memengaruhi proses hukum ini.

“Jangan sampai MA membuat sejarah pejajahan baru bagi masyarakat Toraja. Kembalikan tanah SMA Negeri 2 dan kawasan Lapangan Gembira Rantepao ke masyarakat adat Toraja untuk digunakan Pemda dan masyarakat Toraja. Kami tidak akan rela sejengkal tanah adat Toraja dirampas oleh pihak di luar masyarakat adat Toraja, ” tegas Tino Heidel Ampulembang, Kordinator SC Himpunan Mahasiswa Toraya Indonesia Wilayah Kalimantan** (RM).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *