Dunia Dilanda Peperangan

Senayan : Indonesia Harus Mandiri Pangan, Obat-obatan dan Senjata

Diskusi bertajuk ‘Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India-Pakistan’, ysng digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Jakarta-PS. Anggota Badan Kerjasama Antar Parlemen Syahrul Aidi Mazaat tekankan pentingnya meningkatkan kemandirian bangsa dalam menghadapi situasi dunia yang makin kacau. Menurutnya, situasi di berbagai belahan dunia yang saat ini dilanda peperangan, antara lain Palestina vs Israel, Rusia vs Ukraina, dan terakhir, India vs Pakistan menunjukkan bahwa sudah harus mulai menyiapkan diri, termasuk mempersenjatai diri dengan peralatan tempur yang canggih.

“Memang dengan terjadinya perang antara Pakistan dengan India ini kan membuat ada perubahan di Timur Tengah juga, kemudian di Asia tentunya juga,” kata Syahrul dalam diskusi bertajuk ‘Mitigasi Geopolitik Indonesia Menghadapi Dampak Perang India-Pakistan’, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Syahrul menilai, perang Pakistan vs India ini juga dipengaruhi dukungan dua negara adi daya saat ini, yakni China dan Amerika Serikat. Adapun Pakistan, kata politisi Fraksi PKS ini, didukung oleh China dan Rusia, sementara India di back up oleh Amerika Serikat. Hasil pengamatannya, Pakistan sementara ini unggul berkat dukungan teknologi perang dari China.

Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia mesti mulai berpikir untuk memperkuat armada tempur sebab efek perang dua negara tetangga ini akan terbangun opini bahwa kekuatan teknologi tempur dan alat perang negara pendukung akan sangat menentukan. “Sehingga Indonesia harus juga menentukan arah kebijakannya. Dan tentu kalau kita melihat kesana, ya tidak jauh-jauh dari dukungan yang ada sekarang di Palestina dan Ukraina misalnya. Memang di satu sisi Blok China ini semakin kuat, sementara Blok Amerika Serikat semakin melemah, selain mulai hilangnya kepercayaan dunia ke Amerika,” ungkapnya.

Indonesia, ungkap Syahrul, memang menganut politik bebas aktif sehingga tidak bisa menentukan sikap secara terang-terangan. Namun melihat perkembangan belakangan ini, menurutnya, Indonesia harus pandai memainkan peran. Di satu sisi tidak boleh terlalu dekat dengan Amerika Serikat sebagai bagian dari upaya meningkatkan nilai tawar, di sisi lain tetap harus menjaga hubungan baik dengan China.

“Saya lihat Arab Saudi misalnya. Arab Saudi hubungan dengan Amerikanya kuat, tetapi di jalan hubungan dengan Chinanya juga kuat, sehingga daya tawarnya akan naik. Kalau kita punya hanya satu senjata, daya tawar kita akan lemah,” ujarnya.

Menurutnya, China bisa menjadi negara besar dan dibutuhkan negara lain, selain memiliki peralatan tempur yang kuat, dia juga memiliki komoditi pangan yang dibutuhkan oleh negara-negara lain. Dua hal ini, yang membuat China dibutuhkan banyak negara-negara lain.

Pemerintahan Prabowo Subianto, kata anggota Komisi V DPR ini, sudah mulai melakukan hal itu. Salah satunya dengan menjadi negara yang berdaulat pangan. “Kalau kita mampu memproduksi yang kita konsumsi, kita akan mandiri. Kalau kita mampu memproduksi yang dikonsumsi orang, maka kita akan maju. Kita akan bisa menguasai orang lain. Tapi ketika kita tidak mampu memproduksi yang kita konsumsi sendiri, maka kita akan bisa dijajah. Apa saja bentuknya,” ujarnya.

Karena itu, untuk menjadi negara maju dan berpengaruh, menurutnya, rumusnya Indonesia harus mampu memproduksi pangan sampai senjata. “Jadi ada tiga hal yang harus kita produksi secara mandiri. Pangan, obat-obatan, senjata,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana menilai ketegangan global yang terus memanas dari Eropa hingga Timur Tengah dan Asia Selatan, menunjukkan bahwa dunia saat ini berada dalam situasi genting yang tak lagi bisa ditangani dengan cara-cara lama. “Perang sudah tidak relevan. Dunia sedang tidak membutuhkan konflik, apalagi yang melibatkan negara-negara bersenjata nuklir seperti India dan Pakistan,” ujarnya.

Hikmahanto menyampaikan keprihatinannya atas konflik yang tak kunjung usai di Gaza. Ia menilai aksi militer Israel yang menghalangi bantuan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap nilai kemanusiaan. “Anak-anak di Gaza kini mengalami kelaparan. Bahkan Trump yang dikenal keras sekalipun meminta Israel memberi akses bantuan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti potensi konflik antara India dan Pakistan yang bisa meledak kapan saja. Jika tidak ditangani, ego para pemimpin bisa memperkeruh situasi.

Menurut Hikmahanto, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai penengah. Sosok Presiden Prabowo Subianto dinilainya mampu menjalin komunikasi lintas negara dengan baik. “Pak Prabowo punya akses langsung ke banyak pemimpin dunia. Beliau bisa jadi mediator, atau setidaknya mengutus tokoh seperti Menlu atau Pak Jusuf Kalla untuk misi damai,” bilangnya.

Hikmahanto menambahkan bahwa dampak perang bukan hanya pada aspek keamanan, tapi juga ekonomi global. Ia mencontohkan bagaimana bursa saham sempat terguncang akibat konflik India–Pakistan. Ia juga menekankan pentingnya kesiapan militer dan teknologi pertahanan. Indonesia, menurutnya, tak bisa terus bergantung pada alutsista impor tanpa pengembangan lokal. “Beli boleh, tapi harus dimodifikasi. Kita butuh teknologi versi kita sendiri. Belajar dari Israel yang bisa membuat alutsista lebih canggih, bahkan dijual ke negara lain,” katanya. KAL *YM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *