Pesta Tanpa Perempuan



Oleh : Rusman Madjulekka

Terasa hambar. Ibarat sayur tanpa garam. Selain itu, kurang menarik dan tidak lengkap. Kira-kira begitu potret suasana gelaran “pesta demokrasi” pemilihan presiden (Pilpres) 17 April 2019 mendatang.

Pasalnya, pesta kali ini tanpa calon perempuan. Dari kedua kontestan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak satu pun calon perempuan.  Yang ada, capres/cawapred Joko Widodo-K.H.Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Kondisi tersebut  sungguh ironis bila menengok data, dari wajib pilih, maka lebih dari setengahnya adalah pemilih perempuan. Apakah peran perempuan di panggung politik Indonesia mulai meredup? Apakah perempuan itu sendiri yang tidak percaya diri? Tentu hanya perempuan yang bisa menjawabnya.

Namun begitu, penilaian miring kurangnya partisipasi perempuan di panggung politik akibat kurang agresif  berpolitik dibantah. “Rendahnya partisipasi politik perempuan karena tidak diberi kesempatan oleh partai politik yang sekaligus gagal mendorong kader perempuannya,” ujar Siti Zuhro, pengamat politik dari LIPI.

Selama ini, menurutnya, politisi perempuan sudah berusaha dengan strategi yang maksimal untuk menarik perhatian simpatisan. Namun, kenyataannya banyak yang tidak dilirik oleh parpol. “Kalau dibilang belum pandai, tunggu dulu. Buktinya, banyak kader perempuan yang mampu mengalahkan kaum Adam. Bahkan tidak sedikit perempuan memegang peranan penting di politik,” jelasnya.

Selain itu, minimnya partisipasi perempuan dalam ‘pesta demokrasi’ karena pandangan realistis yang lebih memprioritaskan arena legislatif. Akibatnya perebutan kursi dewan lebih seksi. Namun begitu, toh faktanya banyak caleg perempuan yang maju untuk sekadar melengkapi keterwakilan kaum perempuan di internal partai.Tak heran, banyak politisi perempuan yang terlihat santai dan sosialisasi sekadarnya saja.

Dengan melihat jumlah suara pemilih perempuan, sesungguhnya potensi partisipasi politik perempuan cukup besar, hanya saja belum diberdayakan dengan maksimal oleh sejumlah partai politik (parpol).

Seiring alasan tersebut, perlu adanya pelatihan dan pendidikan politik bagi kaum perempuan agar lebih tahu dan sadar betapa pentingya peran politik perempuan yang juga bisa dan mampu memberi kontribusi lebih dalam dunia politik serta bisa jadi penentu kebijakan pemerintah.

Bagi saya, kemampuan berpolitik perempuan sebenarnya sudah setara dengan laki-laki. Hanya saja, yang betul-betul mau berkecimpung di politik masih sedikit. Jadi, perempuan itu sebenarnya mampu menjadi apa saja, termasuk berkecimpung dalam dunia politik. Hanya tak optimal saja bergelut di bidang politik.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *