Mafindo: Deepfake dan Scam Warnai Tahun Pertama Prabowo–Gibran
Jakarta, PS — Meningkatnya penyalahgunaan teknologi kecerdasan artifisial (AI), terutama dalam bentuk deepfake dan penipuan daring (scam), menjadi salah satu potret utama dinamika hoaks di tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran. Fenomena ini mencerminkan tantangan baru dalam menjaga kedaulatan informasi digital di Indonesia.
Isu tersebut mengemuka dalam Diskusi Media “Potret Hoaks Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) di Resto Lara Djonggrang, Menteng, Jakarta, Selasa (22/10/2025). Acara ini menjadi refleksi Mafindo atas tren hoaks sepanjang 2024–2025 yang menunjukkan eskalasi signifikan baik dari sisi volume, pola penyebaran, maupun kecanggihan teknologi di baliknya.
Riset Mafindo menunjukkan1.593 hoaks yang dipetakan berdasarkan tema, target, saluran penyebaran, narasi, dan keterlibatan teknologi AI dalam pembuatannya. Dari jumlah itu, deepfake dan konten berbasis AI menjadi tren menonjol, terutama dalam isu politik, sosial, dan ekonomi. Riset dilakukan sejak Oktober 2024 hingga Oktober 2025.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menegaskan bahwa hoaks kini tidak lagi diproduksi secara sederhana, melainkan melalui pendekatan teknologi yang sulit diidentifikasi publik awam. “Selama satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, hoaks terus berevolusi. Deepfake menjadi bentuk baru disinformasi yang mengadu domba masyarakat dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara,” ujarnya.
Septiaji mencontohkan video palsu yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan nada merendahkan guru, serta video deepfake “Ibu Ana berkerudung pink” yang beredar untuk mendiskreditkan kelompok penyampaian aspirasi. “Konten semacam ini memantik kemarahan publik dan berpotensi menormalisasi perundungan,” tambahnya.
Selain deepfake, Mafindo mencatat peningkatan tajam dalam kasus scam atau penipuan digital yang memanfaatkan nama lembaga pemerintah dan BUMN. Modus penipuan yang mengatasnamakan Pertamina, PLN, dan Telkom dengan tawaran rekrutmen kerja palsu atau investasi fiktif marak ditemukan di berbagai platform digital.
“Scam adalah bentuk hoaks yang sering luput dari sorotan media. Korbannya masif dan bisa menimpa siapa saja. Kini scam memanfaatkan AI dan big data dari kebocoran data pribadi untuk menjerat korban secara lebih personal,” kata Septiaji.
Dari sisi penelitian dan kebijakan literasi digital, Loina Lalolo Krina Perangin-angin, Presidium Mafindo Pengampu Komite Litbang, menyoroti peran besar AI dalam memperparah kerentanan publik. “Kami melihat lonjakan signifikan dalam konten palsu berbasis AI yang menyerang kredibilitas lembaga negara dan korporasi besar. Tanpa kemampuan otentikasi digital yang memadai, masyarakat mudah terjebak dalam disinformasi yang tampak realistis,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Guru Besar LSPR Institute of Communication and Business, Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk membangun ketahanan masyarakat terhadap disinformasi.
“Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis mengoperasikan teknologi, tetapi juga kecakapan sosial dan kritis dalam memahami konteks di balik informasi. Pemerintah, BUMN, media, dan komunitas literasi digital harus membangun sinergi yang lebih erat,” katanya.
Lely menambahkan, tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran masih rawan gangguan hoaks di berbagai sektor, mulai dari hukum, politik, ekonomi, hingga pertahanan keamanan. “Para elite komunikasi dan pejabat publik harus lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi agar tidak mudah terjebak dalam jebakan informasi palsu,” ujarnya.
Diskusi dihadiri jurnalis, akademisi, dan komunitas literasi digital ini menjadi bagian dari agenda strategis Mafindo untuk memperkuat ruang publik berbasis fakta. Di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi yang kian kabur batasnya, upaya memperkuat literasi dan kolaborasi lintas sektor dinilai menjadi kunci menjaga ketahanan informasi nasional. **ams

