Jadi Saksi Kasus Impor Ikan,Sekjen KKP Ingin “Cuci Tangan”?
PS-Jakarta. Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo yang menjadi saksi dalam persidangan kasus suap impor ikan, Rabu (19/2/2020) di PN Tipikor Jakarta Pusat, mendadak serba tidak tahu dan lupa ketika dicecar pertanyaan terkait kewenangan dan perannya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Dirut Perum Perindo Risyanto Suanda dan Direktur PT Navy Arsa Sejahtera (NAS), Mujib Mustofa sebagai tersangka kasus suap terkait kuota impor ikan jenis frozen pacific mackerel atau ikan salem. Risyanto diduga menerima uang suap senilai Rp 1.300 dari setiap kilogram ikan yang diimpor PT NAS). Adapun Risyanto menjanjikan kuota impor kepada PT NAS sebanyak 250 ton pada Mei 2019 dengan tambahan 500 ton untuk Oktober 2019 mendatang.
Dalam sidang, Nilanto dicecar pertanyaan oleh penasehat hukum tersangka Dirut Perindo, Fadli Nasution, perihal kewenangan dan peranannya ketika itu masih menjabat Dirjen PDS (Penguatan Daya Saing) produk kelautan dan perikanan KKP sebagai pihak yang memberikan rekomendasi impor ikan.
Hal itu berawal ketika Fadli menanyakan perusahaan lain selain Perindo, termasuk swasta yang mendapat kuota impor ikan tersebut? “Saya tidak tahu dan lupa,” jawab saksi Nilanto.
Bahkan saat ditanyakan, sebenarnya berapa total keseluruhan kuota atau alokasi impor ikan pada saat itu, lagi-lagi Nilanto menjawab tidak tahu dan lupa.
Dalam persidangan sebelumnya,Hakim Joko Subagyo sudah mengaitkan kewenangan tersebut dengan izin impor yang dimiliki oleh perusahaan bidang ekspedisi muatan kapala laut, PT Lintang Kemukus Logistics.
Pasalnya, karena perusahaan yang dipimpin oleh terdakwa penyuap Mujib Mustofa, tercatat memiliki izin impor sendiri. Akan tetapi praktekya, untuk mengimpor ikan, perusahaan itu tak menggunakan izin yang ia miliki, melainkan melalui perusahaan lain.
“Apa di Kementerian Kelautan ada instrumen awasi, atau evaluasi atau monitor?” tanya Hakim Joko.Nilanto lalu menjawab pihaknya tak mengatur sampai sejauh itu.
Menurut pengamat dari Indonesia Maritim Watch (IMW), Anwar L, perubahan sikap mendadak lupa dan tidak tahu seperti itu lazim dilakukan oleh saksi. Hanya saja ia menyayangkan, seorang pejabat setingkat Dirjen tidak bisa memberikan jawaban yang luas dan clear. “Jadi jangan salahkan publik bila menganggap perubahan sikap Nilanto itu seolah ingin “cuci tangan” dari kasus itu,” ujar Anwar.
Selain itu, hakim Joko mempertanyakan juga fungsi dari IPHP. Ia juga menanyakan sanksi yang mungkin diberikan KKP bagi perusahaan yang tak menggunakan IPHP-nya. Nilanto lantas menjawab bahwa kasus yang terjadi pada perusahaan milik Mujib Mustofa itu akan ia dijadikan bahan evaluasi pihaknya.
“Tentu semuanya jadi pelajaran bagi kami, dan pada saatnya kami akan gunakan Sekjen Perdagangan saya akan bicara dengan kepala BKIPM. Saya terima kasih masukannya, tentunya akan jadi bahan kita, dan tentu kita berikan ruangan kewenangan, baik KKP dari kami sebagai penerbit IPHP, harus kita bicarakan dan diskusi bersama,” kata Nilanto. ***(RM)