Jamaluddin Memilih Setia

PS-Jakarta. Suatu siang, saya diajak kawan ke gedung Pengadilan Tipikor Jakarta mengikuti babak terakhir persidangan mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. Tak sengaja, saya bertemu kawan lama Jamaluddin M.Syamsir (JMS). Terakhir berjumpa saat ia masih aktif sebagai Ketua KNPI Sulsel dan sesekali saat “Jaja” (begitu biasa ia akrab disapa) aktif sebagai tim sukses SYL dalam Pilgub Sulsel, namun tidak intens.Hanya say helo.

Pada saat menunggu waktu sidang, saya melihat JMS terus mendampingi Idrus Marham yang kadang duduk, berdiri dan berjalan. Sesekali Idrus berbisik ke telinga JMS. Beberapa lembar dokumen pun diberikan JMS ke Idrus. Ia juga aktif menyalami beberapa kolega Idrus yang datang memberi dukungan. “Ayo kak…kita ngopi di bawah,” ajak JMS kepada kami. Beberapa kali JMS terpaksa harus meninggalkan kami yang asyik ngopi karena ada panggilan dari Idrus. Ia begitu aktif dan cekatan menyiapkan segala keperluan bosnya yang lagi mengalami masalah hukum.

Di tengah gemuruh politik nasional dan hiruk-pikuk politisi yang terjerat kasus hukum, saya melihat satu embun kecemerlangan pada sosok JMS alias Jamal atau Jaja. Di saat bosnya yang juga sahabatnya dihujat, dicibir, dimaki banyak orang, ia tetap tenang dan meresponnya dengan argumentasi yang positif. Ia tetap menemani Idrus, bahkan di saat-saat paling sulit dalam kehidupannya. Ia beda dengan aktivis ataupun politisi lain yang biasanya perlahan-lahan menjauh atau hanya menjadi penyanjung di saat jaya, dan pemaki di saat terpuruk.

Di gedung Pengadilan Tipikor menjadi aksi bisu JMS datang mendampingi Idrus Marham. Semua media langsung mengarahkan sorotan kamera ke rombongan kecil mereka. JMS tak menghindar. Ia tetap hadir dan jalan bersisian dengan Idrus. Senyum tak pernah lepas dari aktivis dan politisi asal Bulukumba ini.

Saya tak tahu, apakah JMS tahu bahwa di tanah air, seorang terduga korupsi dianggap membawa penyakit yang bisa menjangkiti siapapun yang mendekatinya. Tidakkah ia khawatir kalau dirinya akan ikut dibuang sebagaimana para tertuduh lainnya? Tidakkah JMS memikirkan posisinya sebagai politisi dari sebuah partai besar yang berkuasa? Mengapa pula ia tak menjauhi bosnya yang juga sahabatnya itu ketika dirinya juga seolah “dikucilkan” dari relasinya selama ini?

Lelaki asal desa Lembana, Kajang itu memang tenang. Di saat semua orang meninggalkan Idrus dan mencari jalan selamat, JMS tetap tak beranjak. Ia tak hendak ikut jadi pencaci atau penghujat. Ia tetap memosisikan dirinya sebagai sosok yang tak akan pernah meninggalkan bos, guru dan sahabatnya demi untuk mengejar titik nyaman. Ia ikut menerima cacian serta hujatan, yang justru semakin membesarkan dirinya.

JMS tak ingin banyak komentar. Hanya berkata singkat bahwa ia tak ingin masuk dalam dikotomi antara menyanjung dan membenci. “Bagi saya, Idrus adalah bos, guru, dan sekaligus adalah  sahabat. Posisi itu tak akan pernah berubah. Ia (Idrus, red) telah memberi warna bagi kehidupan saya. Sungguh tak adil jika disuruh memilih salah satu,” katanya.

Lelaki yang punya banyak pengalaman sebagai aktivis ini punya pendapat sendiri. Bahwa loyalitas tidak diukur dari seberapa panjang lidah dalam menjilat seorang petinggi atau penggawa lembaga, organisasi ataupun parpol. Tapi setidaknya JMS telah membuktikan arti kesetiaan dalam berteman dan berempati kepada kawan yang terkena musibah. Yang orang lain mungkin hanya sekedar pemanis bibir saja. “Siapapun tidak pernah punya kekuatan untuk mengatur takdirnya untuk berteman dengan orang,” katanya.

Kalau dalam ranah politik, yang dikenal hanya kepentingan yang abadi. Namun JMS telah menunjukkan bahwa sesungguhnya pertemanan pun bisa abadi. Meski orang sudah tidak berjaya, tapi JMS tetap memilih setia bersama dalam suka maupun duka. Seperti dengan akronim namanya, “Jalan Menuju Setia”! (RM) ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *